Rabu, 15 Januari 2014

Cerpen Cinta



Ada suatu kala dimana cerpen tidak dikarang seperti biasa. Jauh dari dugaan ketika filsafat telah menyentuh sastra. Ketika bahan obrolan berupa logika jahat yang sering berdusta kepada perasaannya sendiri.

Suasana hening. Rusunawa yang dihuni para peserta pesantrenisasi berdiri megah nan angkuh. Wajar, waktu menunjukkan pukul 24.00 WIB. Para penghuni terlelap setelah kecapekkan mencari ilmu keagamaan dan sosial. Beruntung mereka mencarinya, bukan menuntutnya. Karena salah apa ilmu, sehingga tega orang menuntutnya?

Semua tidur, tersisa segelintir orang, ada yang ngobrol, ada yang sedang mengerjakan tugas kuliah, namun ada yang terdiam dalam fikirannya yang melayang-layang. Sosok laki-laki kurus setengah baya, dengan memakai pakaian khas pesantren, dia hanya duduk di pojokkan dengan kepulan asap rokok yang menghiasi sekitarnya.

“Bull.” Asap terbuang lega. Ia terperangkap dalam fatamorgana perasaan. Perasaan yang tiada berdusta. Perasaan yang hadir apa adanya. Namun tetiba logika datang dan mengacau semuanya. Logika dihasut oleh ego. Logika menjadi bringas nan kejam. Ia mulai merayu logika dan menipunya.
Logika datang menjawil perasaan dan mulai bertutur,”hei kau yang bernama perasaan, apa yang kamu rasakan bukanlah Cinta, sadar woi!”

Perasaan tak terima. “Sok tau sekali kamu hei kau yang bernama logika!” Jawab perasaan memelas dengan nada gontai. Perasaan mulai labil. Ia mulai terisak tangis, menderu. Wajar perasaan adalah perkangkat sensitif dalam jiwa. Mudah rapuh namun dialah yang membuka gerbang kenikmatan, kebahagiaan maupun duka gempita.

“Hei kau yang bernama perasaan, taukah kau yang kau kira Cinta itu? Itu hanya sebatas angan saja. Secara logika tubuh dapat menghasilkan oksitosin, yakni hormon yang dapat memicu fikiran terhadap sesuatu, terobsesi, tergalaukan, ternikmati, dan itu yang kau kira Cinta Cinta itu, yang kau kultus nan suci itu lho. Hahahaha. Pernah belajar biologi atau kimia ngga sih? Makanya belajar biar logika terasah, pinter. Ketipu. Sukurin.”

Perasaan menangis hebat. Pada ahirnya dia galau. Ia ngambek tidak mau merasuki jiwa. Ia termenung.

Detik demi detik berlalu. Menit demi menit beranjak. Jam demi jam berputar. Hari demi hari berganti. Hingga tetiba jiwa menyadari logika telah menang dalam kekejamannya. Namun jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia sadar telah kehilangan komponen dalam dirinya. Ia merasakan kegersangan. Ia merindu hujan dalam gersang jiwa.

Jiwa pun beranjak dari keterkungkungan. Ia tak mau statis. Ia mulai rekontruksi elemen-elemen dalam jati dirinya. Ia mulai memanggil saudara-saudaranya yang lain.

“Wahai saudara-saudaraku semua; wadak, qarin, ruh, logika, dan perasaan, datanglah! Mari kita rapat pleno!”

“Siap ndan!” jawab wadak.

“Laksanakan!” jawab qarin.

“Ya.” Jawab ruh.

“Tumben manggil-manggil. Hehe.” Respon logika.

Tak lama kemudian mereka semua berkumpul dalam pesanggrahan jiwa. Jiwa mulai mempersilahkan duduk dan menyuguh secangkir kopi hangat, berbau sedap, caffeine menyelinap nikmat.

“Boleh dicicip bro?”Logika tak sabar pingin menyeruput kopi.

“Monggo.” Jawab jiwa mempersilahkan. Kemudian logika mulai menyeruput kopi itu dengan cekatan nan bringasan.

“Broooot.” Logika menyemprotkan kopi itu. “Diancuk, kopi panas pahit pula.” Umpat Logika.

“Kau tak sabar, kau terselip ego.” Respon ruh dengan tegas.

“Oke, diabsen dulu. Wadak?”

“Hadir.”

“Qarin?”

“Hadir.”

“Ruh?”

“Hadir.”

“Logika?”

“Hadir. Sory, tidak bisa bilang ‘r’, nih habis melepuh lidahnya nyruput kopi tadi. Huh.”
  
“Perasaan?”

Tidak ada yang menyahut. Logika pura-pura diam nan membungkam.

“Halo, perasaan dimana ya, kok belum hadir ya?” Ada yang tahu?”

Semua membisu nan ternampak gerik bingung akan kemanakah perasaan berada, kecuali logika yang terlihat aneh. Ia seperti menyembunyikan sesuatu. Dan tak lama kemudian gerak-gerik aneh itu tercium oleh Jiwa.

“Wahai logika, kemanakah perasaan? Apakah engkau mengetahuinya?”

“Emmm. Emmm. Tidak tahu kok. He’eh aku tidak tahu. Sumpah!” Jawab logika grogi dengan mata melihat lihat kekanan atas. Kelihatan banget kalau dia berbohong.

“ Engkau telah berbohong. Jawab jujur!” Gertak jiwa tegas.

“Iya deh, ngaku. Sudah lama dia aku singkirin di pojokan itu. Dia ngga berani datang.” Jawab logika.

“O, pantaslah. Kau sudah terselip ego wahai logika. Kau sudah tak bisa berfikir canggih secara bijak. Memang kamu pintar, tapi pintar menipu perasaan. Kini ijinkan kami meruqyahmu sehingga nantinya kau bisa minta maaf dan mengajak perasaan hadir kembali!” Jelas jiwa tegas nan bijak. Semua peserta rapat kemudian mengangguk kecuali logika yang ketakutan. Logika mau kabur namun mereka mulai memegangi logika dengan erat.

“Tidak tidak tidaaak.” Logika meronta hebat. Namun apa daya dia tak bisa apa-apa lagi selain pasrah mendengarkan lantunan ayat-ayat ruqyah yang dibacakan ruh tak lama kemudian.

Logika semakin menjadi-jadi. Ia meronta namun ruh tetap membaca dan yang lainnya memegangi logika erat. Lantunan menyayat ego. Ruang keegoan pun habis terbakar oleh obor yang disulut melalui perantara bacaan ayat-ayat ruqyah yang dibacakan. Logika pun lemas dan mulai pingsan.

Seluruh peserta rapat kemudian pulang ke elemen dalam cakra masing-masing. Wadak mulai memberi instruksi untuk terlelap.  Pemuda itu mulai menguap dan tertidur.







2 komentar: