Kamis, 04 Juli 2013

Kembali Kepada Hakekat


Alam adalah pesan yang disampaikan untuk manusia. Karena manusia sendiri hakekatnya sebagai khalifah. Mempunyai hak intervensi untuk mengatur alam, meski keputusan tetaplah kuasa penuh Sang Pencipta alam dan manusia itu sendiri. Alam sebagai pesan mengantarkan manusia ke jalan transcendental. Alam adalah manifestasi wujud, demikian juga manusia. Manusia yang mengerti alam akan tahu bagaimana mengelolanya. Sehingga dapat sinkretis antara keduanya. Itulah keseimbangan (taichi). Sebelum mengatur tentu harus ada pemahaman. Pemahaman yang paling mendasar adalah tentang asal usul.
Istilah jawanya Sangkan Paran.



Usaha manusia untuk menemukan asal usul menjadi pencarian sejati. Bak melewati lika-liku, tebing dan jurang, panas dan hujan, ahirnya sampailah pada suatu titik. Bak tumbuhan yang memiliki gerak seismonesti menuju cahaya matahari, demikian juga manusia mencari cahya yang hakiki. Hingga suatu titik yang terang itu sampai. Hingga imajinal luruh menjadi absolutivitas. Kedigdayaan cahaya terkalahkan oleh cahaya yang Maha Cahaya. Cahaya yang bersumber dari cahaya yang tidak pernah padam. Hingga bertemulah manusia kepada Cahaya Tuhan. Itu bermula dari alam. Seperti halnya Nabi Ibrahim ketika menyaksikan alam. Beliau bertemu bintang, bulan, matahari, hingga ketemulah beliau dengan titik transendensi.

Alam mengajari, manusia mempelajari. Aktivitas belajar (tafakkur) mengajak manusia untuk merenungi sehingga sampailah pada aktivitas berdzikkir (tadzakkur). Memang banyak manusia yang merasa pintar menjadi professor, doctor, dan sebagainya tentu sudah melewati fase tafakkur (berfikir) namun tidak sampai pada tadzakkur (berdzikkir). Itulah kerugian manusia terhadap waktu. Namun untuk manusia yang cerdas (ulil albab) mereka dapat mengajak akal untuk berfikir dan merenungi,”Siapa yang menciptakan alam semesta sedahsyat ini, penciptaan langit dan bumi yang kompleks, silih bergantinya malam dengan presisi dan akurasi yang sangat tepat?” hingga pertanyaan itu terjawab oleh ketidak berdayaannya terhadap fikirannya sendiri. Akal lumpuh dan menyerah, hingga berpasrah (aslam) kepada ketundukan berfikir (dien) untuk mengakui dengan kalimat pernyataan “laa ilaaha illallah”.


Terik matahari mengajari manusia akan arti hujan. Hujan mengajari manusia akan arti berteduh. Berteduh mengajari manusia akan arti bersosial. Bersosial mengajari manusia akan arti bermasyarakat. Bermasyarakat mengajari manusia akan arti bernegara. Bernegara mengajari manusia akan arti berkeadilan. Berkeadilan mengajari manusia akan arti kejujuran. Hingga manusia dituntut untuk jujur pada dirinya sendiri untuk mengakui dirinya sebagai manusia (makhluk Allah). Sejatinya makhluk adalah menghamba kepadaNya. Kembalinya manusia dalam kesejatian, sangkan paraning dumadi menjadi manungsa kautaman menggiring manusia ke titik keintiman hanya dirinya dan Dia. Hingga manusia merasakan arti mahabbah (cinta) sesungguhnya. Menghamba bukan karena takut neraka karena tidak ada rasa takut lagi. Menghamba bukan karena kesedihan merindunya menginginkan surga karena tak ada rasa sedih lagi. Merekalah yang terbaik amalnya dalam ketaqwaannya. Hingga jubah Aulia (Kekasih) mereka sandang. Mereka kelak berada disampingNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar