Minggu, 07 April 2013

Hijrah di Era Kosmopolitan

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran [3]: 103)
 
Dalam mengarungi kenyataan hidup manusia dihadapi dengan dua pilihan. Kanan atau kiri. Baik atau buruk. Benar atau salah. Cinta atau benci. Maaf atau dendam. Berkah atau murka. Suci atau kotor. Dalam pengejawantahannya tak mungkin manusia tiba-tiba langsung kanan, langsung benar, langsung baik. Tidak ada manusia yang ujug-ujug langsung menjadi ulama, ustadz, intelektual, meski ulama, ustadz, intelektual bukan parameter masuk surga. Perlu proses.

Proses menuju, keadaan manusia mengarungi tujuan lebih baik,
itulah proses perpindahan, hijrah. Simfoni dari tata daya dan usaha yang dilakukan untuk menuju suatu target. Tumbuhan dapat mencari cahaya matahari, memiliki kecenderungan mencari cahaya, dikenal dengan gerak seismonesti (dalam kajian science). Tumbuhan saja tahu bagaimana cara menuju cahaya. Maka sudah selayaknya manusia lebih tahu secara logis, melakukan gerak, perpindahan, hijrah, minna dzulumat (dari kegelapan) illa nuur (menuju cahaya). 

Jika kita berani menelaah, mengkaji dalam ketundukan dan kepasrahan akal, ternyata islam getol mengajak umatnya melakukan hijrah. Tidak hanya hijrah secara dzohiriah sebagaimana dapat kita temukan dalam hijrahnya nabi SAW dari Mekkah ke Madinah. Tidak hanya itu. Hijrah secara maknawi dapat kita temukan Al Quran dan Sunnah. Al quran pun memberikan banyak informasinya. Dapat kita temukan secara sporadis. Adapun tujuan yang hendaknya kita lakukan dalam transformasi hijrah adalah rahmat, ampunan, kasih sayang dari Allah. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharapakan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. Al-Baqarah 2:218). Selain tujuan yang hendak kita harapkan, tidak luput juga usaha yang sungguh-sungguh dalam berhijrah (jihad) menuju kebaikan di jalan Allah. Sehingga kita mendapat derajat tinggi di sisi Allah dan mendapat kemenangan. “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.(Qs. Al-An’fal, 8:74) “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (Qs. At-Taubah, 9:20) 

Dalam peliknya kehidupan modern menuju postmodern kali ini, agama diajak untuk menjawab berbagai tantangan-tangan berkehidupan yang beragam, multikultur, plural. Penulis tertarik terhadap persepsi kaum atheis, “kenapa manusia butuh agama?” Sebagian dari mereka beranggapan agama yang menjadi sumber polemik, ketidak damaian dunia. Tantangan umat saat ini sangat beragam. Budaya sangat beragam, tidak hanya internal, namun eksternal juga menyelinap secara halus. 

Kadang manusia tidak sadar bahwa telah diminumi anggur dunia oleh peradaban modern, sehingga tak sadar telah mabuk dunia, terpikat keglamoran peradaban. Di sisi lain modernitas membawa umat menuju jaman yang serba canggih dan kemudahan akses ilmu yang sangat mudah. Itulah kenapa pentingnya memegang prinsip, ideologi, fundamentalitas diri, sebagai filter peradaban. Menyerap multidialektika ilmu tanpa kehilangan kontrol individu. 

Counter Culture sebagai Perlawanan Berbagai dinamika multikultur dapat dijawab dengan mengembalikan kepada esensi asal. Istilah jawanya sangkan paran. Usaha menilik balik, merenung kembali, flash back kepada pedoman asal. Apa itu? Sebagaimana kita ketahui pedoman umat islam, alquran wa sunnah. Dalam manifestasinya, Al quran dan Sunnah ini sudah sepantasnya tidak dianggab hak milik pribadi yang tampil  secara ekslusif. 

Kadang umat, terlebih awam (termasuk penulis) dibuat bingung oleh percekcokkan ashobiyyah- ashobiyyah (golongan/aliran). Ada quote menarik dari Emha Ainun Nadjib untuk sedikit memberi pandangan terkait diskursus ini. Kalau ditanya, “Kamu Islam ikut siapa?”. Dijawab , “Ya ikut ajaran Nabi Muhammad.” Lalu kalau ditanya,”Nabi Muhammadmu itu Muhamadiyah atau NU? Syiah atau sunni?” Tentu kelimpungan menjawabnya. Yang kita ketahui Al Quran dan Sunnah sebagai pedoman utama, pedoman yang telah diwasiatkan untuk umatnya, pedoman kita berislam (berpasrah kepada-Nya). Maka sudah saatnya umat bersatu dalam ushul (pokok) dan menghargai ikhtilaf (perbedaan) dalam furuq (cabang). Karena berbecah belah hanya mengendorkan semangat umat. 

Penulis pun kurang sepakat terhadap pandangan yang berkembang di masyarakat, memisahkan jarak barat dan timur. Dalam artian barat sebagai antibudaya timur yang sering diartikulasikan dengan dialektika negatif. Perlu ditabayyunkan antara barat dan timur. Menurut penulis, kadang masyarakat timur kebarat-baratan, kadang masyarakat barat justru ketimur-timuran. Sebagai masyarakat timur korupsi, ketidak jujuran menjamur dimasyarakat. Justru dibaratlah budaya timur dahulu yakni iqra’(membaca/belajar) diaplikasikan secara sungguh-sungguh. Ragam teknologi (nano partikel, nuklir), ekonomi, politik justru yang giat mempelajari adalah barat. Namun itu bukan jurang pesimisme bagi kita.

 Meski jika ada pertanyaan,”Siapa yang pergi ke bulan?”. Jawabannya barat. Sebenarnya kita justru yang harus bangga sebagai umat islam. Karena panutan kita Nabi SAW bukan hanya ke bulan, tapi dengan izin Allah pernah membelah bulan, pernah mi’raj ke langit ke tujuh. Islam bukan hak milik timur sendiri. Islam bersifat rahmatan lil’alamien (rahmat seluruh alam semesta). Barat dan timur mempunyai hak yang sama untuk berislam. Maka umat islam yang progresiflah yang dituntut oleh kosmopolitanisme peradaban, yang berani beriqra’ secara luas. Iqra’ adalah jati diri umat islam. Sudah selayaknya iqra’ terhadap ayat qauliyah (literer) dan ayat qouniyah (sains, teknologi, politik, sosbud). 

Membudayakan kembali iqra’ merupakan usaha counter culture, sebagai mana fungsi ilmu yakni menerangi. Saat kegelapan menerpa, terangilah dengan ilmu. Ilmu menerangi manusia di tengah arus peradaban yang dinamis. 

Transformasi Berjamaah 
Menjawab terhadap persepsi kaum atheis tadi, “kenapa manusia butuh agama?” Jawabannya, karena agamalah yang menuntun manusia, berilmu, berakhlaq, dan bersosial dalam dinamisasi, terbuka di semua perkembangan peradaban. Agama yang dituntunkan Rasulullah SAW mengajak menata kehidupan yang akur, damai. 

Belajar dari hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah, pertama kali beliau bangun adalah masjid (masjid Nabawi). Kemudia beliau bangun majelis ilmu. Beliau SAW menata politik. Beliau rintis konstitusi pertama di dunia, piagam madinah sebagai pemersatu umat yang multikultural (konstitusi pertama di dunia menurut penulis bukannya Agraria Wet 1870, namun piagam madinah). Beliau SAW dengan keluhurannya sebagai pemimpin mampu menyatukan umat islam, yahudi, nasrani, dan shobi’in (agama lainnya). 

 Penulis teringat pesan bijak dari Prof. Zaini Dahlan (Mufti Takmir Masjid Ulil Albab), “Muslim adalah orang yang dapat menyelamatkan orang lain, sedangkan mu’min adalah orang yang memberikan rasa aman bagi orang lain.” Secara literer dapat kita temukan doktrin bahwa sesungguhnya agama Allah esensinya bukan untuk diri sendiri, eksklusif untuk penganutnya secara pribadi, karena sifat agama sendiri yang rahmatan lil ‘alamien. Islam mengajak umatnya untuk menyambung silaturahim, sila (tali), rahim (kasih sayang). Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam. (HR. Muslim). Ibarat singa mencari domba yang terpisah dari rombongan. Sudah sepantasnya umat bersatu, berjamaah. Agar tidak dimangsa syaithon yang menggiring manusia untuk berjahiliah kembali. 

Ikhtitam 
Diskursus kosmopolitanisme mengajak agama sendiri yang akan menjawabnya. Di satu sisi mengajak umat islam untuk beriqra’, menjadi intelektual sebagai agent of change (agen perubahan), Di sisi lain mengajak untuk saling peduli satu sama lain, saling bahu membahu (ta’awanu) dalam tata kebaikan peradaban dan ketaqwaan, dan berjiwa besar terhadap toleransi. Saatnya berhijrah, bertransformasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar