Alam adalah pesan yang disampaikan untuk manusia. Karena manusia sendiri hakekatnya sebagai khalifah. Mempunyai hak intervensi untuk mengatur alam, meski keputusan tetaplah kuasa penuh Sang Pencipta alam dan manusia itu sendiri. Alam sebagai pesan mengantarkan manusia ke jalan transcendental. Alam adalah manifestasi wujud, demikian juga manusia. Manusia yang mengerti alam akan tahu bagaimana mengelolanya. Sehingga dapat sinkretis antara keduanya. Itulah keseimbangan (taichi). Sebelum mengatur tentu harus ada pemahaman. Pemahaman yang paling mendasar adalah tentang asal usul.
Istilah jawanya Sangkan Paran.
Usaha
manusia untuk menemukan asal usul menjadi pencarian sejati. Bak melewati
lika-liku, tebing dan jurang, panas dan hujan, ahirnya sampailah pada suatu
titik. Bak tumbuhan yang memiliki gerak seismonesti
menuju cahaya matahari, demikian juga manusia mencari cahya yang hakiki.
Hingga suatu titik yang terang itu sampai. Hingga imajinal luruh menjadi
absolutivitas. Kedigdayaan cahaya terkalahkan oleh cahaya yang Maha Cahaya.
Cahaya yang bersumber dari cahaya yang tidak pernah padam. Hingga bertemulah
manusia kepada Cahaya Tuhan. Itu bermula dari alam. Seperti halnya Nabi Ibrahim
ketika menyaksikan alam. Beliau bertemu bintang, bulan, matahari, hingga ketemulah
beliau dengan titik transendensi.
Alam
mengajari, manusia mempelajari. Aktivitas belajar (tafakkur) mengajak manusia
untuk merenungi sehingga sampailah pada aktivitas berdzikkir (tadzakkur).
Memang banyak manusia yang merasa pintar menjadi professor, doctor, dan
sebagainya tentu sudah melewati fase tafakkur (berfikir) namun tidak sampai
pada tadzakkur (berdzikkir). Itulah kerugian manusia terhadap waktu. Namun
untuk manusia yang cerdas (ulil albab) mereka dapat mengajak akal untuk
berfikir dan merenungi,”Siapa yang menciptakan alam semesta sedahsyat ini,
penciptaan langit dan bumi yang kompleks, silih bergantinya malam dengan
presisi dan akurasi yang sangat tepat?” hingga pertanyaan itu terjawab oleh
ketidak berdayaannya terhadap fikirannya sendiri. Akal lumpuh dan menyerah,
hingga berpasrah (aslam) kepada ketundukan berfikir (dien) untuk mengakui
dengan kalimat pernyataan “laa ilaaha illallah”.
Terik
matahari mengajari manusia akan arti hujan. Hujan mengajari manusia akan arti
berteduh. Berteduh mengajari manusia akan arti bersosial. Bersosial mengajari
manusia akan arti bermasyarakat. Bermasyarakat mengajari manusia akan arti
bernegara. Bernegara mengajari manusia akan arti berkeadilan. Berkeadilan
mengajari manusia akan arti kejujuran. Hingga manusia dituntut untuk jujur pada
dirinya sendiri untuk mengakui dirinya sebagai manusia (makhluk Allah).
Sejatinya makhluk adalah menghamba kepadaNya. Kembalinya manusia dalam
kesejatian, sangkan paraning dumadi
menjadi manungsa kautaman menggiring
manusia ke titik keintiman hanya dirinya dan Dia. Hingga manusia merasakan arti
mahabbah (cinta) sesungguhnya.
Menghamba bukan karena takut neraka karena tidak ada rasa takut lagi. Menghamba
bukan karena kesedihan merindunya menginginkan surga karena tak ada rasa sedih
lagi. Merekalah yang terbaik amalnya dalam ketaqwaannya. Hingga jubah Aulia
(Kekasih) mereka sandang. Mereka kelak berada disampingNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar