Jumat, 24 Mei 2013

Ketika Malaikat Pergi dan Nafsu Buruk Mendominasi



Duduk termenung mendengarkan kata hati. Sejenak bayangmu menghiasi sore ini. Baru beberapa hari ketika aku melihatmu tersenyum ceria. Raut wajah yang natural terhias dalam eloknya pesonamu yang rumit. Saat engkau berlenggak-lenggok berjalan girang, tiba-tiba menyapaku. “Mas Adiiin!” Suaramu terlihat merdu meski cempreng dan fals. Aku terhibur dalam denyut yang nyaman. Candu menggelegak membuka urat nadi untuk menyalurkan darah dengan cepat.

Sekarang ini aku hanya bisa merasakan kehadiranmu dalam imajinalku yang sulit. Terbatas pada angan yang kias. Kerinduan seorang perindu untuk merindukan sosok yang dirindu. Kepasrahan yang tiada pasrah untuk memaksakan pasrah atas kepasrahan yang berpasrah. Dug..dug..dug bunyi jantung pertanda imajinalku adalah realitas. Ya, saya

Negeri Dongeng (sebuah cerpen)



Sebagian orang  sering meremehkan cerita dongeng. Kadang dianggap kekanak-kanakan. Mereka lebih bangga dengan novel-novel tebal. Perempuan lebih suka novel dengan dinamika romantika. Pria lebih suka novel dengan nuansa adventure dan logika.
Sedangkan dongeng mereka tempatkan dalam dunia anak kecil yang fatamorgana. Itu sebagai paradigma. Meski, realitasnya tidak selalu. Masih ada yang suka dongeng. Masih ada yang selalu rindu fantasi, imajinasi. Walau kadang tidak masuk akal, dongeng adalah keabadian akal. Ketika akal melayang, ia bebas, “aku berfikir, maka aku bebas.” Maka jangan anggab ini serius. Tidak ada yang serius dalam otakku. Bukankah dunia hanya sendau gurau?

Andaikata dunia saat ini seperti yang kita lihat,banyak gedung gemerlap di malam hari, sepeda motor dan mobil berlalu lalang. Ada pesawat terbang, helikopter, kapal, kereta api, dan perangkat modern lainnya. Tahukah bahwa dahulu sekitar 1000 abad lalu ada dunia yang tak kalah canggih seperti sekarang?