Ada dua jenis orang saleh: Yang ingin mengumumkan kesalehannya pd semua orang; Ada yg merasa cukup Tuhan saja yg tahu. ~Ulil Abshor Abdalla
Ada dialektika yang menghubungkan baik dan buruk. Meski ada limit yang memisahkan dua term tersebut. Meski jika dihubungkan dengan terminologi benar dan salah, baik belum tentu benar, benar belum tentu baik. Bahkan keburukan yang tidak terus lebih baik dari kebaikan yang tidak terus. Demikian juga kesalahan yang tidak terus lebih benar dari
kebenaran yang tidak terus. Ini jika mau dikaitkan antara terminologi terus dan berhenti. Terlalu zig zag nampaknya prolog ini, namun ini dapat dikaitkan dengan persoalan penampilan.
Ada analogi yang menarik. Jika teroris ingin mengebom suatu hotel dengan cara mengirimkan paket barang yang sebenarnya bom, tentu teroris yang cerdik ndak mungkin mengemas paket bom itu dengan kardus dengan bertuliskan “ini barang mudah meledak”. Jika itu terjadi itu adalah teroris bodoh. Teroris yang cerdik tentu menyamarkan bom itu dengan mengemasnya misal dengan kotak kado berwarna pink berlukiskan “Hello Kitty” atau apapun yang tidak menunjukkan kotak itu berisikan bom. Sehingga orang-orang tidak tahu kalau itu bom. Ketika orang-orang menyangka itu kotak kado dan berhasil dikirimkan di hotel, maka teroris tinggal menunggu waktu untuk “duuaaaar”, bom meledak. Itu sedikit anaogi fundamentalnya penampilan terhadap persepsi yang ditimbulkan.
Namun analogi teroris tadi juga tidak menafikkan bahwa kadang penampilan yang nampak baik dan benar belum tentu baik dan benar. Demikian juga penampilan yang nampak buruk dan salah belum tentu buruk dan salah. Terbukti dari analogi kotak kado tersebut, ketika orang “tersilaukan: dengan kemasan yang menarik dan imut, eh ternyata bom. Sekali lagi ini penampilan.
Penampilan seseorang yang terlihat kusam, lusuh, kadang orang menyangka dia orang gila, tapi bisa jadi dia adalah wali/aulia/kekasih Tuhan yang menyamarkan amal-amalnya agar hanya dia dan Kekasihnya saja yang tahu.
Suatu fenomena “terhidangkan” untuk kita santap hikmah dibaliknya. Ada orang yang kelihatan ‘alim, pun bahasanya udah pake “ontam antum”, bicaranya difasih-fasihkan. Tapi ternyata tak sejajar dengan ilmunya ketika diajak dialog atau pun akhlaqnya yang membuat hati teman-temannya tersakiti, gampangannya ndak sensitif. Ada.
Berbalik arah, suatu fenomena seseorang yang kelihatanya “bad boy”, tapi orangnya “empan papan”. Dapat bergaul dari tingkatan pemabuk, penogel, hingga para kyai. Sensitifitasnya tinggi dan pandai mentransendenkan peristiwa, sehingga dapat memberi wejangan halus tanpa menggurui, hingga da’wahnya berhasil. Memang da’wahnya bukan di mimbar. Dia bergaul di lingkungan pemabuk tapi tak ikut mabuk. Sesekali ia selipkan anjuran sholat dan taubat. Hingga para pemabuk dapat “terhidayahkan”. Namun ternyata, ada titik nadir yang dihadiahkan kepada orang itu oleh orang lain secara umum. Karena dia suka bergaul dengan pemabuk dan penogel, dikiranya dia ikut-ikutan dengan “permainan setan” tersebut. Pun ditambah penampilannya yang sangat menyembunyikan ke’alimannya, hingga orang lain berprasangka buruk terhadapnya. Apalagi para fundamentalis puritan yang “kesleo doktrin”, dikiranya dia orang yang “mlenceng” dari koridor. Di malam yang ia sukai, ia hanya bisa tersenyum memasrahkan apa yang terjadi pada Penciptanya. Sekali lagi, ini penampilan.
Teringat sebuah ungkapan dari gus Ulil, Ada dua jenis orang saleh: Yang ingin mengumumkan kesalehannya pd semua orang; Ada yg merasa cukup Tuhan saja yg tahu. (Komentar saya: saya bukan kedua-duanya karena saya bukan orang ‘alim, hehe)
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.” Az Zubair bin Al ‘Awwam mengatakan, “Barangsiapa yang mampu menyembunyikan amalan sholihnya, maka lakukanlah.” Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.” Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.” Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?”
Maaf terlalu banyak kutipan. Yang jelas melihat itu biasa, tapi melihat dibalik yang ia lihat itu yang tidak biasa.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
@SemarTobat
Ada dialektika yang menghubungkan baik dan buruk. Meski ada limit yang memisahkan dua term tersebut. Meski jika dihubungkan dengan terminologi benar dan salah, baik belum tentu benar, benar belum tentu baik. Bahkan keburukan yang tidak terus lebih baik dari kebaikan yang tidak terus. Demikian juga kesalahan yang tidak terus lebih benar dari
kebenaran yang tidak terus. Ini jika mau dikaitkan antara terminologi terus dan berhenti. Terlalu zig zag nampaknya prolog ini, namun ini dapat dikaitkan dengan persoalan penampilan.
Ada analogi yang menarik. Jika teroris ingin mengebom suatu hotel dengan cara mengirimkan paket barang yang sebenarnya bom, tentu teroris yang cerdik ndak mungkin mengemas paket bom itu dengan kardus dengan bertuliskan “ini barang mudah meledak”. Jika itu terjadi itu adalah teroris bodoh. Teroris yang cerdik tentu menyamarkan bom itu dengan mengemasnya misal dengan kotak kado berwarna pink berlukiskan “Hello Kitty” atau apapun yang tidak menunjukkan kotak itu berisikan bom. Sehingga orang-orang tidak tahu kalau itu bom. Ketika orang-orang menyangka itu kotak kado dan berhasil dikirimkan di hotel, maka teroris tinggal menunggu waktu untuk “duuaaaar”, bom meledak. Itu sedikit anaogi fundamentalnya penampilan terhadap persepsi yang ditimbulkan.
Namun analogi teroris tadi juga tidak menafikkan bahwa kadang penampilan yang nampak baik dan benar belum tentu baik dan benar. Demikian juga penampilan yang nampak buruk dan salah belum tentu buruk dan salah. Terbukti dari analogi kotak kado tersebut, ketika orang “tersilaukan: dengan kemasan yang menarik dan imut, eh ternyata bom. Sekali lagi ini penampilan.
Penampilan seseorang yang terlihat kusam, lusuh, kadang orang menyangka dia orang gila, tapi bisa jadi dia adalah wali/aulia/kekasih Tuhan yang menyamarkan amal-amalnya agar hanya dia dan Kekasihnya saja yang tahu.
Suatu fenomena “terhidangkan” untuk kita santap hikmah dibaliknya. Ada orang yang kelihatan ‘alim, pun bahasanya udah pake “ontam antum”, bicaranya difasih-fasihkan. Tapi ternyata tak sejajar dengan ilmunya ketika diajak dialog atau pun akhlaqnya yang membuat hati teman-temannya tersakiti, gampangannya ndak sensitif. Ada.
Berbalik arah, suatu fenomena seseorang yang kelihatanya “bad boy”, tapi orangnya “empan papan”. Dapat bergaul dari tingkatan pemabuk, penogel, hingga para kyai. Sensitifitasnya tinggi dan pandai mentransendenkan peristiwa, sehingga dapat memberi wejangan halus tanpa menggurui, hingga da’wahnya berhasil. Memang da’wahnya bukan di mimbar. Dia bergaul di lingkungan pemabuk tapi tak ikut mabuk. Sesekali ia selipkan anjuran sholat dan taubat. Hingga para pemabuk dapat “terhidayahkan”. Namun ternyata, ada titik nadir yang dihadiahkan kepada orang itu oleh orang lain secara umum. Karena dia suka bergaul dengan pemabuk dan penogel, dikiranya dia ikut-ikutan dengan “permainan setan” tersebut. Pun ditambah penampilannya yang sangat menyembunyikan ke’alimannya, hingga orang lain berprasangka buruk terhadapnya. Apalagi para fundamentalis puritan yang “kesleo doktrin”, dikiranya dia orang yang “mlenceng” dari koridor. Di malam yang ia sukai, ia hanya bisa tersenyum memasrahkan apa yang terjadi pada Penciptanya. Sekali lagi, ini penampilan.
Teringat sebuah ungkapan dari gus Ulil, Ada dua jenis orang saleh: Yang ingin mengumumkan kesalehannya pd semua orang; Ada yg merasa cukup Tuhan saja yg tahu. (Komentar saya: saya bukan kedua-duanya karena saya bukan orang ‘alim, hehe)
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.” Az Zubair bin Al ‘Awwam mengatakan, “Barangsiapa yang mampu menyembunyikan amalan sholihnya, maka lakukanlah.” Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.” Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.” Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?”
Maaf terlalu banyak kutipan. Yang jelas melihat itu biasa, tapi melihat dibalik yang ia lihat itu yang tidak biasa.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
@SemarTobat
Buka dulu topengmu..buka dulu topengmuuuu.hehe
BalasHapus