Ada suatu kala dimana cerpen tidak dikarang seperti biasa.
Jauh dari dugaan ketika filsafat telah menyentuh sastra. Ketika bahan obrolan
berupa logika jahat yang sering berdusta kepada perasaannya sendiri.
Suasana hening. Rusunawa yang dihuni para peserta
pesantrenisasi berdiri megah nan angkuh. Wajar, waktu menunjukkan pukul 24.00
WIB. Para penghuni terlelap setelah kecapekkan mencari ilmu keagamaan dan
sosial. Beruntung mereka mencarinya, bukan menuntutnya. Karena salah apa ilmu,
sehingga tega orang menuntutnya?
Semua tidur, tersisa segelintir orang, ada yang ngobrol, ada
yang sedang mengerjakan tugas kuliah, namun ada yang terdiam dalam fikirannya
yang melayang-layang. Sosok laki-laki kurus setengah baya, dengan memakai
pakaian khas pesantren, dia hanya duduk di pojokkan dengan kepulan asap rokok
yang menghiasi sekitarnya.
“Bull.” Asap terbuang lega. Ia terperangkap dalam
fatamorgana perasaan. Perasaan yang tiada berdusta. Perasaan yang hadir apa
adanya. Namun tetiba logika datang dan mengacau semuanya. Logika dihasut oleh
ego. Logika menjadi bringas nan kejam. Ia mulai merayu logika dan menipunya.
Logika datang menjawil perasaan dan mulai bertutur,”hei kau
yang bernama perasaan, apa yang kamu rasakan bukanlah Cinta, sadar woi!”
Perasaan tak terima. “Sok tau sekali kamu hei kau yang
bernama logika!” Jawab perasaan memelas dengan nada gontai. Perasaan mulai
labil. Ia mulai terisak tangis, menderu. Wajar perasaan adalah perkangkat
sensitif dalam jiwa. Mudah rapuh namun dialah yang membuka gerbang kenikmatan,
kebahagiaan maupun duka gempita.
“Hei kau yang bernama perasaan, taukah kau yang kau kira
Cinta itu? Itu hanya sebatas angan saja. Secara logika tubuh dapat menghasilkan
oksitosin, yakni hormon yang dapat memicu fikiran terhadap sesuatu, terobsesi,
tergalaukan, ternikmati, dan itu yang kau kira Cinta Cinta itu, yang kau kultus
nan suci itu lho. Hahahaha. Pernah belajar biologi atau kimia ngga sih? Makanya
belajar biar logika terasah, pinter. Ketipu. Sukurin.”
Perasaan menangis hebat. Pada ahirnya dia galau. Ia ngambek
tidak mau merasuki jiwa. Ia termenung.
Detik demi detik berlalu. Menit demi menit beranjak. Jam
demi jam berputar. Hari demi hari berganti. Hingga tetiba jiwa menyadari logika
telah menang dalam kekejamannya. Namun jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri. Ia sadar telah kehilangan komponen dalam dirinya. Ia merasakan
kegersangan. Ia merindu hujan dalam gersang jiwa.
Jiwa pun beranjak dari keterkungkungan. Ia tak mau statis.
Ia mulai rekontruksi elemen-elemen dalam jati dirinya. Ia mulai memanggil
saudara-saudaranya yang lain.
“Wahai saudara-saudaraku semua; wadak, qarin, ruh, logika,
dan perasaan, datanglah! Mari kita rapat pleno!”
“Siap ndan!” jawab wadak.
“Laksanakan!” jawab qarin.
“Ya.” Jawab ruh.
“Tumben manggil-manggil. Hehe.” Respon logika.
Tak lama kemudian mereka semua berkumpul dalam pesanggrahan
jiwa. Jiwa mulai mempersilahkan duduk dan menyuguh secangkir kopi hangat,
berbau sedap, caffeine menyelinap nikmat.
“Boleh dicicip bro?”Logika tak sabar pingin menyeruput kopi.
“Monggo.” Jawab jiwa mempersilahkan. Kemudian logika mulai
menyeruput kopi itu dengan cekatan nan bringasan.
“Broooot.” Logika menyemprotkan kopi itu. “Diancuk, kopi
panas pahit pula.” Umpat Logika.
“Kau tak sabar, kau terselip ego.” Respon ruh dengan tegas.
“Oke, diabsen dulu. Wadak?”
“Hadir.”
“Qarin?”
“Hadir.”
“Ruh?”
“Hadir.”
“Logika?”
“Hadir. Sory, tidak bisa bilang ‘r’, nih habis melepuh
lidahnya nyruput kopi tadi. Huh.”
“Perasaan?”
Tidak ada yang menyahut. Logika pura-pura diam nan
membungkam.
“Halo, perasaan dimana ya, kok belum hadir ya?” Ada yang
tahu?”
Semua membisu nan ternampak gerik bingung akan kemanakah
perasaan berada, kecuali logika yang terlihat aneh. Ia seperti menyembunyikan
sesuatu. Dan tak lama kemudian gerak-gerik aneh itu tercium oleh Jiwa.
“Wahai logika, kemanakah perasaan? Apakah engkau
mengetahuinya?”
“Emmm. Emmm. Tidak tahu kok. He’eh aku tidak tahu. Sumpah!”
Jawab logika grogi dengan mata melihat lihat kekanan atas. Kelihatan banget kalau
dia berbohong.
“ Engkau telah berbohong. Jawab jujur!” Gertak jiwa tegas.
“Iya deh, ngaku. Sudah lama dia aku singkirin di pojokan
itu. Dia ngga berani datang.” Jawab logika.
“O, pantaslah. Kau sudah terselip ego wahai logika. Kau
sudah tak bisa berfikir canggih secara bijak. Memang kamu pintar, tapi pintar
menipu perasaan. Kini ijinkan kami meruqyahmu sehingga nantinya kau bisa minta
maaf dan mengajak perasaan hadir kembali!” Jelas jiwa tegas nan bijak. Semua
peserta rapat kemudian mengangguk kecuali logika yang ketakutan. Logika mau
kabur namun mereka mulai memegangi logika dengan erat.
“Tidak tidak tidaaak.” Logika meronta hebat. Namun apa daya
dia tak bisa apa-apa lagi selain pasrah mendengarkan lantunan ayat-ayat ruqyah
yang dibacakan ruh tak lama kemudian.
Logika semakin menjadi-jadi. Ia meronta namun ruh tetap
membaca dan yang lainnya memegangi logika erat. Lantunan menyayat ego. Ruang
keegoan pun habis terbakar oleh obor yang disulut melalui perantara bacaan
ayat-ayat ruqyah yang dibacakan. Logika pun lemas dan mulai pingsan.
Seluruh peserta rapat kemudian pulang ke elemen dalam cakra masing-masing. Wadak mulai memberi instruksi untuk terlelap. Pemuda itu mulai menguap dan tertidur.
salam hangat dari kami ijin menyimak gan, dari kami pengrajin jaket kulit
BalasHapuscerpen satir. can't agree more..
BalasHapus